Pages

Agustus 30, 2011

Episode Terakhir Upik Abu

: yang ada tapi tak berguna, yang membatu tak tahu malu

Tolong dicamkan baik-baik ya...aku sudah memutuskan tahun ini adalah episode terakhir untuk peran Upik Abu-ku. Tenang saja, keputusan ini kuambil dengan pertimbangan matang dan pikiran yang jernih. Tidak dalam keadaan emosional sama sekali walaupun tadi sempat meradang mendengar caramu menghakimi Matahari, pusat tata surya-ku itu. Kasihan dia, datang padaku sambil mengelus dada merasa tidak terima dihakimi seperti itu. Setelah semua yang dilakukannya untukmu? Untunglah Allah masih membukakan mata hati Matahari-ku itu dengan pengetahuan agamaku yang tak ada seujung kuku ini. Maaf, kami berlebaran ikut pemerintah saja. Kalau kau merasa benar dengan pilihanmu, kami menghormatimu. Tahan saja lidahmu, itu sejuta kali lebih baik karena aku tahu kita ini sama-sama tak paham ilmunya.

Kapan dan dimana baiknya kuumumkan pengunduran diriku itu? Di depan seluruh umat yang begitu penting itu kah? Hahahaha...tenang, tenang...aku tidak akan bertindak sedrastis itu sekalipun seharusnya sudah kulakukan bertahun-tahun lalu (bodohnya aku). Aku masih punya rasa kasihan. Itu akan mencoreng image baik yang kau gadang-gadang. Dan untukmu itu dosa besar, kan? Baiklah, aku akan sedikit melunak. Kau tak sadarkah waktu kukasih sedikit bocoran padamu tadi pagi? Waktu kau ikut menguping pembicaraan kami di dapur? Bahasa tubuhmu terkaget-kaget. Kenapa? Tak percaya ya aku bisa setegas itu? Aku yang selalu kooperatif, akomodatif, penurut dan tak banyak bicara? Kalau kau pintar, kau akan sadar bahwa aku sedang menyiksa pikiranmu selama setahun ke depan. Kau, ego dan image-mu yg (harus) baik itu...silahkan tersiksa memikirkannya. Jangan kau kira itu hanya gertak sambal, aku pasti mencari cara.

Aku tidak sedang emosional, sungguh. Aku memikirkan manfaat dan mudharat sebelum kuambil keputusan itu. Bukankah begitu seharusnya sebelum mengambil setiap keputusan? Kejadian tadi pagi hanya secuil puncak gunung es masalah kita. Percayalah, keputusanku menimbang gesekan yang paling kecil di antara kita. Sekarang, aku akan fokus pada kebahagiaan Matahariku itu. Satu hal yang kusangsikan dengan pasti kau perjuangkan juga. Camkan baik-baik...aku tidak akan berpura-pura bahwa segalanya baik-baik saja sedangkan aku tahu mereka semua tahu kita tidak baik-baik saja. Cukup, sudah cukup.

Aku tidak akan minta maaf padamu, kau tahu? Coba sebutkan, apakah aku pernah berbuat salah padamu? Tentu saja kau tahu...itu yang membuatmu segan padaku. Aku akan tetap menghormatimu sewajarnya. Tapi aku akan menebalkan dinding yang memisahkan kita. Jadi, mulai sekarang kita urus urusan masing-masing ya. Silahkan sibuk dan kau manfaatkan saja orang lain. Silahkan poles image baik-mu itu sesuka hati. Jangan usik kami, karena aku sudah cukup berbaik hati bermain cantik menghadapimu.

Tolong, berkacalah ...kita menuai hasil dari benih yang kita tebar.

Agustus 24, 2011

(Harus) Banyak Bersyukur

Pagi ini, di meja kantor, di depan monitor komputer:
 ...
" Aku kalo lebaran repot, Mbak Yanti. Mama ndak punya asisten Rumah Tangga, jadi  aku mesti bersihin rumah and bantuin masak buat orang banyak. Bisa dihitung se-RT tuh. Jauh-jauh hari sebelum lebaran pula. Ndak bakal sempet dandan cantik and duduk manis nemuin tamu pas lebarannya. Tempatku di dapur. Sendiri. Bapak sulung sih, jadi mesti jadi jujugan keluarga besarnya." 

" Bagus dong, Rona. Kamu dah pengalaman dan terlatih arrange acara keluarga." 

" Capek, mbak. Bosen juga. Kapan ya aku bisa bebas dari semua itu."

"Aku jadi kangen kumpul-kumpul ama keluarga besar, Ron. Kapan ya bisa gitu lagi. Dulu pas di Papua kami sering begitu. Saling berkunjung sana sini. Semua sekarang sibuk ma keluarga masing-masing."
...



Siang ini, di ruang ICU, di depan monitor yang saya tak tahu apa nama dan gunanya:
...
" Sudah koma lima hari, Mbak. Minta doanya ya."
" Iya, Bu. Kami ikut mendoakan yang terbaik untuk Ricky. Ibu yang sabar, ya." 
...


Malam ini, di atas kasur, di depan monitor, saya teringat kedua percakapan itu dan efeknya pada saya.

Selepas dzuhur tadi, saya dan beberapa teman kantor bergegas ke sebuah rumah sakit untuk menjenguk anak teman kami yang mengalami kecelakaan motor Sabtu malam lalu. Sudah lima hari berbaring di ICU dengan alat bantuan penyambung hidup. Koma, karena trauma di kepala. Perdarahan hebat di dalam. Sebelumnya, kami mendengar kabar bahwa paginya, keluarga dan dokter memutuskan melepas semua alat-alat itu karena sudah tidak ada harapan hidup. Hebohlah kami di kantor. Padahal pada kenyataannya, tidaklah seperti itu adanya.

Saya tidak mengerti apa fungsi alat-alat yang berseliweran di tubuh korban. Saya juga tidak tahu dan tidak mengkonfirmasi ke pihak keluarga benarkah gosip bahwa alat-alat itu dicabut bertahap: sedang atau akan. Tidak tega rasanya mengkonfirmasi hal seperti itu ketika mereka, yang saya yakin, pasti sedang berharap dan berusaha memperjuangkan kesembuhannya: hampir lulus kuliah, 23 tahun, sulung dan satu-satunya anak lelaki di keluarga. Saya melihat tarikan nafas di dadanya masih berirama.

Di koridor depan ICU, seorang teman berkata: "Kasihan ya, Mbak. Harusnya hari-hari begini kan biasanya keluarga mereka sudah siap-siap mudik. Sudah kebayang mau ngapain aja di kampung pas lebaran. Sekarang yang ada semua berantakan. Malah keluarga-keluarga dari luar kota ngumpul di sini semua. Dalam suasana duka, pula."

Mak jleb. Saya tertohok. Teringat percakapan dengan mbak Yanti pagi tadi. Tentang kegalauan saya yang sudah bosan bertahun-tahun menjadi pengurus dapur (aka upik abu) sebelum dan saat lebaran tiba. Belum lagi kegalauan eh kerinduan punya kampung halaman yang selalu menyerang setiap lebaran tiba. Mengingat keadaan di keluarga teman tadi, kegalauan itu serasa remeh, manja dan cengeng. Saya memang tak punya kampung, pasti bersedih karena ketidakhadiran Mimi di lebaran tahun ini,...tapi selebihnya saya lebih beruntung. Kesampingkan segala persoalan yang ada...Insya Allah, saya masih diberi kesempatan berkumpul dengan keluarga besar Bapak dalam keadaan sehat dan bahagia.

Saya malu. MALU. Seharusnya saya lebih banyak bersyukur.

Saya berdoa semoga keluarga korban, teman saya itu, diberi kesabaran yang lebih, mampu memetik hikmah dari ketentuan-Nya, ikhlas menjalani dan diberi balasan surga karenanya. Semoga mbak Yanti juga segera bisa berkumpul lagi dengan keluarga besarnya, seperti waktu di Papua dulu. Dan saya...semoga saya selalu ingat untuk tidak mengeluh; pandai memetik hikmah pelajaran hidup dan selalu pandai bersyukur...Amiin ya Rabb...

Agustus 20, 2011

Hening yang Panjang

Hening itu berbilang waktu, menderas detik ke hitungan menit, jam, hari, minggu. Bahkan mungkin juga bulan, tahun atau selamanya? Siapa yang tahu?

Hening itu, yang memanjang di antara kita, tak pernah kuterjemahkan sebagai jarak atau kuberi beban pertanyaan. Pun, tak kuberi syak wasangka. Kubiarkan memanjang sesuka kau mau.

Hening itu tak kuanggap berjarak karena aku tahu kita menekuri jalan yang sama pada lintasan yang berbeda untuk satu tujuan: cinta-Nya. Jangan tanya darimana aku tahu. Aku terbiasa membaca-mu. Bahkan ketika kau tak bersuara. Entah tak mau atau tak mampu.

Hening itu tak kubebani pertanyaan. Sudah lama kuhapus kata tanya dan tanda tanya setiapkali hening itu memanjang. Kuterima apa adanya. Sekalipun terkadang dibelakangmu aku pura-pura bertanya ini itu.

Hening itu pun tak kuberi syak wasangka. Bahkan andai kau hendak memanjangkan selamanya. Bukankah sudah pernah kubilang? Aku percaya, tanpa ragu, pastilah kau niatkan untuk kebaikanku atau kebaikanmu. Jangan tanya mengapa bisa begitu. Waktu mengajariku mengenal hatimu, yang lembut itu.

Aku menerima heningmu yang panjang itu serupa matahari yang terbit di timur dan tenggelam di barat, air sungai yang mengalir ke laut, udara yang selalu bergerak, kelahiran atau kematian yang pasti. Seperti itu. Andai kau tahu.

Agustus 10, 2011

Di Penghujung Sepertiga Pertama Ramadhan

Tidak terasa besok, insya Allah, akan memasuki sepertiga kedua Ramadhan. Sepuluh hari kedepannya akan menjelang hari-hari yang dijanjikan ampunan-Nya. Semoga ibadah puasa kita diterima Allah SWT, berbuah kebaikan untuk kita dan orang-orang di sekitar kita. Amiin.

Selama puasa, saya jadi jarang posting. Bukan berarti melupakan kegiatan blogwalking, karena saya masih juga membaca dan ninggalin komen di blog temen sana sini. Rasanya hanya ide mentok dan jalan di tempat. Bukan disebabkan karena kekurangan waktu secara jam kerja kantor didiskon setengah jam lebih awal selama bulan puasa. Saya juga membatasi lembur sampai malam karena sebelum maghrib sudah harus tiba di rumah supaya bisa segera mandi, menyiapkan takjil, shalat maghrib lanjut isya dan tarawih.

Mungkin karena saya sedang berusaha secara sadar memaknai lebih puasa kali ini. Tentunya sesuai versi saya sendiri. Saya menjadi lebih hening. Lebih banyak diam dan berpikir. Lebih banyak mendekat pada-Nya. Ya, memang sih hobby ngomel masih keluar juga kadang-kadang...tapi rasanya saya jadi lebih pendiam. Sibuk berkontemplasi, melakukan perjalanan ke dalam diri.

Ada banyak hal yang harus dikaji, dimaknai lebih, ditarget ulang, diperbaiki. Banyak peer, tapi saya sungguh bersemangat menjalaninya. Semoga puasa saya tahun ini berbuah lebih. Saya sungguh berharap.

(saya kok kangen euphoria dan ribetnya mudik ya....hehehe)


Half Purple and Blue Butterfly