Pages

Juli 29, 2011

Merindumu, Sayidah

Aku merindumu, ya Sayidah, ya ummu Qasim, Abdullah dan Fatimah. Bagaimana menuntaskannya? Rinduku berjarak...berbilang abad: padamu dan kekasihmu, kekasih-Nya itu.

Telah kusimak kisahmu, ya Sayidah. Kau pemilik istana mutiara di surga, yang didalamnya tiada keributan dan kepayahan. Kau teladan, kau as-Sabiqun al-Awallun. Kau mengimani kekasih-Nya ketika orang-orang mengingkarinya, membenarkannya ketika yang lain mendustakan, memberi hartamu ketika orang-orang lain tak memberinya apa-apa. Engkau, kecintaan kekasih-Nya, pendamping kala suka dan duka.

Wahai kau, ummu Mu'minin...tidaklah berharap kudapatkan mimpi seperti mimpimu: mendapati matahari turun dan memasuki rumahmu. Siapalah aku ini. Aku hanya ingin bertemu, membaui wangi surga darimu, mendengarkan kisah hidupmu, menyelami rasa yang pernah kau rasa, menceritakan semua renjana-ku. Mungkinkah?

Aku merindumu, ya Sayidah...ketika suratan-Nya menempatkanku dipersimpangan ini, dan pada kisahmu, aku ingin mengambil hikmah.

Juli 22, 2011

Everlasting Smile

Hari ini, hari bahagiamu. Tidak kutuliskan 'seharusnya hari bahagiamu', walau kau tak bisa merayakannya bersama kami. Karena aku yakin, di sana kau sedang bahagia menerima doa-doa. Dari kami, yang menyayangi dan merindukanmu.

Sudah, aku sudah berjanji, tak akan ada air mata lagi. Rindu itu biarlah memenuhi dada, mengalir dalam darah, menguar di udara, bersama doa-doa. Semoga Allah SWT berkenan menerimanya.

Kutemukan foto di folder Moi!-mu. Kau beri nama: The Everlasting Smile. Senyummu menawan, kau tahu? Kujadikan picture profile di akun Facebook yang tak kau sukai itu. Tak apa ya? Aku ingin mengenangmu hari ini, seperti itu. Kubagi senyummu ke dunia. Harapanku hanya satu: maaf dan doa untukmu dari siapapun yang pernah mengenalmu. Itu, hadiahku untukmu.

In Memoriam: MiDas...Mia Damayanti Siregar

Juli 20, 2011

Ngisengin Hippo

Kalau disuruh memilih, saya lebih suka employee gathering daripada family gathering. Ini pendapat pribadi, lho. Bukan, bukan karena ngiri pada kebahagiaan teman-teman bersama keluarga kecil atau gedenya itu. Tapi karena seiring menyusutnya jumlah karyawati single dari tahun ke tahun di antara belantara mayoritas karyawan di kantor, saya sering merasa kesepian. Lebih tepatnya, sering mati gaya.

Seperti family gathering tahun ini. Sesampai di Taman Safari Puncak, saya bengong di depon bus. Tengok kanan-kiri, semua sibuk dengan keluarganya dan jalan sendiri-sendiri. Lalu celingukan mencari para bujang yang diangkut rombongan bus lainnya. Ternyata mereka juga sudah menghilang. Daripada mati gaya, akhirnya ikutan serombongan orang entah darimana saja dan nongkrong di depan pertunjukan gajah tanpa bisa menikmati pertunjukannya. Ada yang tau sebabnya? Hehehehe.

Dua puluh menit bengong dan bete, akhirnya saya putuskan jalan sendiri. Ngecek kamera saku dan siap mencari angle tidak biasa. Siapa tahu nanti ketemu bujang-bujang itu di jalan. Eh, baru juga masuk ke baby zoo...saya nemu nih salah satu hewan favorit. Kebetulan, ada rombongan tukang insinyur yang lewat. Jadi deh si Azis saya suruh ngambil foto narsis saya dengan.....Hippo!






Kami akrab ya? Coba perhatikan, si Hippo nguapnya kan sesuai tuh sama saya *hehehe*. Eh, itu saya naik pagar lho. Awalnya dilihatin aneh orang yang lewat. Ujung-ujungnya, mereka ikutan juga *hahaha*. Keisengan memang mudah menular.

Secara keseluruhan, disamping kesepian diawalnya, saya menikmati family gathering tahun ini. Sebenernya memutuskan untuk menikmatinya. Saya memutuskan untuk enjoy saja: puter-puter naik kereta wisata, main arung jeram mini sampai baju basah kuyub dan menggigil kedinginan, bermain dengan anak-anak teman, bertingkah konyol bersama Gaguk di malam keakraban (sedekah sosial ceritanya), dan main outbound seru di hari kedua. Walaupun tidak dapat door prize, saya mengantongi voucher belanja tiga ratus ribu rupiah. Lumayan.

Dan lebih dari itu semua...saya punya satu alasan sendiri untuk berbahagia. Apa itu? Adaaaa aja *hahaha*

A Letter from Muta

Untuk: mama Aya dan Ulyl

Kemarin sore selepas jam kantor, di antara tumpukan kerjaan yang serasa tak ada habisnya itu, perut yang mendadak melilit entah mengapa dan keinginan pulang bersamanya; aku menyempatkan diri mencari dan mengedit foto kita bertiga. Foto yang kujanjikan upload ke blog. Foto setelah kalian mendandaniku untuk acara pernikahan Agung-Rima. Kusimpan sementara di draft blog ini. Ngomong-ngomong siapa sih yang memotret kita waktu itu? Aku baru menyadari fotonya agak buram.

Semalam, sambil sibuk membantunya berburu tiket mudik lebaran tahun ini; aku iseng publish foto kita ke blog. Hanya untuk meyakinkan diri sungguhkah foto kita itu buram atau ada yang salah dengan mataku sore tadi. Ternyata memang buram. Aku yang gaptek ini tak tahu bagaimana membuat gambarnya menjadi tajam.

Pagi tadi, sambil sarapan dan mulai blogging...kutengok lagi foto kita itu. Masih buram. Entah mengapa aku berharap ada keajaiban yang membuatnya tiba-tiba menjadi jernih dan terang. Tidak mungkin kan kita kembali ke waktu itu, dan mengambil fotonya kembali?

Aku tiba-tiba khawatir pada foto-foto kita yang lain. Kuatir semua menjadi buram. Aku buka semua folder yang menyimpan foto kita di komputer ini: pengajian terakhir sebelum aku pindah, makan-makan farewell party kepindahanku, perayaan hari Kartini 2008 di pusat, Java Jazz 2009, liburan 2009 di Batu, pernikahan Agung-Rima 2009... Lho, lho mengapa semua foto menjadi buram???

Oh tidak, ternyata mataku yang membasah...memburamkan penglihatan. Aku rindu kalian, rindu masa-masa kita bersama. Kita bertiga. Kau benar, neng. Pertemuan kita yang sepotong-sepotong itu: aku dan kamu, aku dan Lely...rasanya seperti minum softdrink: tak melepas dahaga, hanya menambah rindu saja.

Janji ya, secepatnya kita ketemu lagi. Nanti, kita buat foto sebanyak-banyaknya. Sebanyak-banyaknya....dan jangan buram. Karena kita tak mungkin bisa mengulang moment-moment itu kembali.... Kalian, jauh di mata...sungguh dekat dihatiku.

Juli 19, 2011

Pangling

Suatu pagi dalam kamar hotel di Gresik; saya duduk pasrah di depan hamparan: kebaya merah darah, jilbab warna senada, kain batik cirebon motif lunglungan merah dasar putih, dan aksesoris yang tercatat sebagai milik saya serta segala alat make-up lengkap yang pastinya bukan milik saya. Milik dua sahabat saya: Maya dan Lely, yang pagi itu sibuk berdiskusi akan diapakan baiknya saya ini.

Ya, hari itu saya didapuk sobat kantor: Rima dan Agung, menjadi among tamu di pernikahan mereka. Spesial, karena cuma saya satu-satunya teman dari kantor unit di Bekasi yang dipercaya menunaikan tugas ini. Untuk saya yang tidak pede dandan dan terbiasa 'pake bedak luntur dalam 5 menit' serta 'slebor asal nyaman' dalam keseharian, tugas ini sungguh berat. Rasanya bak makan buah simalakama. Ditolak? Sayang, secara jarang ditawari dan pengen ngerasain jadi pager ayu (pas jaman masih muda) atau setidaknya among tamu (pas jaman muda sudah berlalu). Diterima? Saya tidak berani membayangkan bagaimana bentuk saya dalam kain panjang, kebaya, high heels dan make up lengkap. Haduh....

Untunglah saya punya dua sahabat yang tidak gagap fashion, pinter dandan dan tahu mana salon terpercaya yang diyakini mampu merombak saya menjadi (agak) anggun dan elegan. Awalnya sempat panik karena salon yang dituju sedang kelebihan order dan menolak order baru. Hingga akhirnya diputuskan mereka berdua yang akan (berusaha sekuat tenaga) me-make over saya. Cuma satu saja pesan kepada mereka berdua: "tolong ya neng, nak...jangan bikin menor-menor, sudah cukup jadi badut ancol, jangan ditambahi jadi ondel-ondel".

Saya memejamkan mata selama mereka beraksi. Oles sana, oles sini, tepuk sana, tepuk sini. Sederetan diskusi, instruksi, dan akhirnya diakhiri cucuran air mata ketika lem bulu mata palsu menusuk mata kanan. Selesai.

Asli, waktu itu saya takut membuka mata. Takut cermin di depan sana menyajikan pemandangan Siti Nurhaliza yang cantik manis anggun menawan itu *lebay dan ngarep*. Tapi, whoaaaa...Siapa itu? Siapa itu memandang saya terbengong-bengong di cermin? Tidak secantik Siti Nurhaliza *tetep ngarep*, tapi manis juga jika dipandang-pandang *narsis kumat*.

Saya pangling. Sungguh, pangling. Jejak yang masih meyakinkan bahwa yang memandang balik dari cermin itu adalah saya hanyalah alis tebal, hidung itu dan tulang pipi itu. Kedua juru rias dadakan sendiri sampai bengong, lho. Antara percaya dan tidak percaya *hahaha*. Ternyata, saya bahkan bisa luwes juga setelah segala perabot lenong yang lain dipakai *tambah narsis*.

Saya ingat benar perasaan waktu itu. Euphoria-nya. Jadi rajin bercermin, senyum-senyum dan kenarsisan tentu meningkat. Pede. Senang. Perasaan yang sama saya temui ketika blog ini selesai direparasi Enno. Pangling: "Aduhai, jadi cantik begini. Makasih banyak ya, No *tabik ala Nihon-jin*. Tanpa bantuanmu, macam mana aku yang gaptek ini bisa bikin...apa itu? header? background? widget? Trus, mana mungkin aku mudeng...apa itu? html? script? syntax? control F? *ngelirik tukang insinyur*. Makasih buanyak...tak doa'in dapat Chef Juna, No *Amiin...hehehe* ".

Ya, ya, ya...buat kalian yang sudah lama mengenal baik saya; ungu dan hijau mungkin bukan hal yang aneh. Tapi bunga? Well, terimalah dengan lapang dada....sekalipun sepertinya saya dan bunga tidak matching, tapi saya memang pecinta bunga *hahay*.

(Judul posting ini ditulis 15 Juli lalu, isinya ditulis di handphone 16 Juli lalu dan baru diposting saat ini karena saat itu lapie pinjaman dari tukang insinyur mendadak hibernate pada saat yang dibutuhkan)

Juli 08, 2011

Dikerjakan di Rumah: Pe-Er

Namanya pe-er aka Pekerjaan Rumah, harusnya dikerjakan di rumah toh? Jadi, baiklah-baiklah ... demi menerima dikerjain Enno, malam ini kita kalahkan dulu tuntutan 'balung tuo'. Trus pasang kaca mata kuda dari godaan bantal-guling.

Sebelumnya, terima kasih untuk award-nya. Award pertama nih. Jadi inget pertanyaan-pertanyaan saya ke pemberinya tadi siang: "Terus terang bingung, award itu apa ya? Trus untuk apa? Harusnya diapain? Kalo bikin award gimana sih? Harus pinter gambar dong?" Maafkan ketidakgaulan dan kelemotan saya, ya.

Sepuluh hal tentang saya? Wah, ini juga pertama kalinya. Dilarang jaim pula? Wooo...baiklah. Tapi jaim itu siapa sih? Ndak kenal. Hahaha.

Oke, ini sepuluh hal tentang saya :

Satu. Saya pejabat. Bukan, bukan pejabat sungguhan tapi singkatan dari PEranakan JAwa BATak. Papa saya orang Batak, Mama saya orang Jawa. Sebagai wanita, setengah mati saya pengen diwarisi kecantikan Mama, tapi apa daya wajah saya dominan Papa. Tak apalah yang penting baik hati, manis, ngangeni dan banyak rejeki. Amiin.

Dua. Jaman masih SD, saya sering berebutan membaca Panjebar Semangat dengan Mbah Nari, ibu-nya Mama. Itu majalah berbahasa Jawa halus untuk ukuran Jawa Timur sebelah timur yang sehari-harinya dominan berbahasa Madura. Bergairah menamatkan komik-komik RA Kosasih tentang Bharata Yudha, Ramayana, Parikesit dan lain-lain. Hobby menonton wayang orang dan ketoprak di TVRI, atau mendengarkan wayang kulit di radio. Suka banget mengkhayal jadi Srikandi yang berharap dicintai Arjuna, tapi tak tahu bagaimana merebut perhatiannya dari Woro Sembodro. Kok berasa curhat ya. Hahaha. Eh, saya masih pingin sekali nonton wayang air yang dari Vietnam itu. Kabuki juga. Yang live, ya. Ada yang mau nonton bareng?

Tiga. Saya mengoleksi buku. Itu harta saya yang berharga. Jumlah kardus buku yang dibawa ketika pindahan dari Gresik ke Jakarta jauhhhh lebih banyak daripada koleksi pakaian saya yang tak seberapa. Tentu saja, membaca itu hobby utama. Kemanapun saya pergi, selalu ada bahan bacaan di tas. Saya membaca di mana saja dan kapan saja. Pernah suatu malam di angkot Gresik-Surabaya yang penuh sesak dan minim penerangan, saya nyempil di ujung belakang, membuka buku setebel bantal, melanjutkan membaca sambil menggigit handphone lipat yang berfungsi sebagai senter. Oh ya, saya sedia tissue juga kok kalo iler saya tidak tertahan. Jijay? Iya juga kalo diingat-ingat. Heeee.

Empat. Saya suka menari. Kalau dengar suara musik, saya pasti goyang-goyang ikut irama. Dulu, kursus saya yang pertama ya menari. Waktu itu kursus dari umur lima tahun sampe dua SD. Seterusnya selalu jadi penari  tradisional di karnaval tahunan SD dan SMP. Karnaval yang selalu diadakan memperingati hari proklamasi kemerdekaan di Lumajang. Pernah jadi maskot karnaval dangdut selama dua tahun. Kelas satu dan dua SMA. Dangdut boooo...hahaha. Tidak menari lagi sejak masuk kuliah sampai sekarang. Eh, tapi pernah menang juara pertama lomba joged-duet di kantor pusat pas awal pegawai baru. Hadiahnya seratus ribu. Sekarang sih, sudah ndak luwes lagi. Dihambat lemak. 

Lima. Saya tak punya warna paling favorit, tapi saya menyukai ungu dan hijau. Biar kata orang ungu itu warna janda, buat saya ungu itu warna yang 'saya' banget. Campuran dari merah yang bergelora dan biru yang adem. Persis seperti saya: terlihat adem di luar, pecicilan di dalam. Ya kan, ya kan?

Enam. Saya tidak suka ulat bulu! Apalagi yang warnanya hitam dan guede. Membayangkannya saja sudah merinding. Hiiiii! Apalagi kalo ulatnya gerak-gerak terus melenting ke arah saya. OH NOOOOOO!!!! Eh, ulat bulu bisa melenting gak sih?

Tujuh. Saya gagap fashion. Bukannya tidak mengerti apa yang sedang in saat ini, tapi memang tidak mengikuti mode. Berpakaian buat saya asalkan nyaman, sopan, rapi dan bersih, sudah cukup. Saya merawat kulit, tapi tidak menghiasnya. Merasa tidak pandai. Punya perabotan lenong buat berhias, tapi seringkali kadaluarsa karena tak terpakai. Aneh saja kalo melihat wajah saya diwarna-warnai. Kok kaya banci yaaaaa. Hehehe.

Delapan. Jaman masih kuliah, pernah eh sering disangka laki-laki. Banyak cewek ABG yang kepergok curi-curi pandang sambil tersipu-sipu malu ketika saya sedang naik motor, naik angkot atau jalan dengan teman-teman. Rambut panjang gondrong ndak beraturan, kaos t-shirt hitam, kemeja flanel atau jaket kain coklat banyak kantong, jeans belel sobek-sobek di paha, cara jalan yang ndak kemayu, dan wajah yang ganteng (kata sahabat saya Ucik)? Entahlah. Saya pernah di-klaim mirip Fadly Padi waktu itu. Hahaha. Sampai sekarang ndak habis mengerti di mana miripnya. Coba nasibnya mirip ya. Ngarep.

Sembilan. Saya kurang suka dipuji. Bikin saya salah tingkah dan mati gaya. Tapi saya suka sekali waktu sahabat kuliah saya yang shalehah, cantik, pinter dan baik hati; Mona; memberi saya julukan: pelangi. Dia bilang saya cantik seperti warna-warni pelangi. Haduhhhh, saya masih suka blushing lho kalo inget itu. Kalau kalian pengin muntah? Gak apa deh. Hahaha. Oh ya, saya risih kalo ada cowok yang sedang pedekate manggil saya 'dik Rona'. Tapi pengen suatu saat dipanggil mesra pakai panggilan itu. Ehem.

Sepuluh. Saya dilarang keras diam. Wajah saya seram dan menampakkan aura galak kalau bibir saya datar. Apalagi kalo dahi saya mengkerut dan alis saya yang tebal itu bertemu. Harus banyak-banyak tersenyum dan tertawa. Karena itu saya rajin ngomong, ngomel, ketawa-ketiwi dan berekspresi lucu. Ah, kalau itu sih emang bawaan bayi. Akibatnya, kalau butuh berpikir serius saya harus menjauh dari orang-orang. Nasib.

Lho, sudah sepuluh ya? Wah, kurang nih. Kurang! Apakah itu tanda saya narsis? Sepertinya begitu. Mwahahaha....maaf, maaf. Selama narsis tidak terhitung dosa, saya terpaksa melestarikannya. Hohoho.

Ok, Pe-Er sudah saya kerjakan. Gimana? Masih Jaim gak? Kira-kira dapat nilai berapa ya? *Berasa sekolah lagi*

                                                           (ini awardnya...senangnya ^^)
Half Purple and Blue Butterfly