Pages

September 12, 2005

ADIKKU, BUKAN SEPUPUKU

Apa kabarmu hari ini? Hari pertama kau sandang amanah baru sebagai suami dan menantu? Adakah semerbak bunga masih menyisakan harum dan semarak pesta semalam? Saat dengan tegas kau ucapkan ikrar itu dihadapan-Nya. Teriring doa, disaksikan berpasang mata yang menatap haru padamu…

Tahukah kau? Aku di sana menatapmu dengan segenap hati. Dengan doa yang teriring hanya untukmu. Aku di sana, menahan haru, menatap punggungmu yang kau tegakkan lurus ke calon ayah mertuamu. Aku tahu, segala rasa itu pastilah berkecamuk didadamu. Bahagia, takut, haru, bercampur menjadi satu. Andai dapat kutepuk punggungmu dan kugenggam tanganmu sekedar menentramkan hati. Andai dapat kubisikkan kalimat ini padamu: “Tenanglah, aku di sini bersamamu.” Apa dayaku…

Tahukah kau? Mungkin memang sebaiknya hanya kutatap punggungmu. Karena aku pastilah hanya akan membuatmu menangis. Kau yang terbiasa mencari mataku, meminta sekedar kekuatan. Maafkan, karena air mata ini tidak dapat kutahan lagi…

Maka segala penggalan cerita itu berkelebatan dibenakku. Masa kecil kita, masa remaja, masa sekolah, masa kuliah…

Kau kecil yang terbiasa mengekor dibelakangku. Yang tiap liburan sekolah hanya mau menghabiskannya dirumah orang tuaku. Bermain, bercanda, bertengkar, berbaikan lagi.

Kau remaja yang memujaku, yang segalanya ingin seperti aku. Yang ingin belajar serius bahasa inggris ketika aku sedikit bisa mengejekmu dengan bahasa asing itu. Yang dengan semangat menyala menggeluti dunia kepanduan karena aku pernah dengan congkak memamerkan lencana-lencana itu padamu.

Kau dewasa yang tak jua dapat menghentikan kemanjaanmu. Pun ketika ia telah hadir di antara kita. Bidadarimu. Maka ingatkah betapa jengahnya aku didepannya ketika kau dengan segala ceritamu menunjukkan kasihmu lewat cubitan, pukulan, pelukan…

Maka maafkanlah aku ketika saat itu kupinta kau menghentikan segala unjuk sayang itu. Kau sepupuku, bukan adik kandungku. Maka kubuatlah jarak itu membentang di antara kita. Kau terluka. Maka kuterima segala protes dan ledakan amarahmu. Kau menantang siapapun yang membuatku memintamu menghentikannya. Duhai, beranikah kau menantang Tuhanmu…

Aku menyayangimu…sungguh. Sama seperti aku menyayangi semua adikku. Kita mungkin lahir tak sedarah. Tapi buatku, darah kita tak berbeda.

Maka maafkanlah kakakmu ini, ketika sore sebelum akad nikahmu…hanya bisa mengomelimu panjang-pendek dan bukannya memberimu kata-kata yang akan menegarkan langkahmu. Aku tahu kau menyayangiku…ketika kaupinta aku, bukan para sesepuh dan orang tuamu, untuk memilih jas yang akan kau pakai, ketika kau memintaku memilih dasi yang serasi dengan jas itu, ketika kau minta aku memasangkan dasimu, ketika kau minta aku menyematkan bunga korsase itu didadamu. Aku menyayangimu…pun ketika kau menghapus air mata selepas kau ucapkan ikrar itu.

Sejak janji itu kau ikrarkan, kau akan melangkah ke dunia dengan tanggung-jawab baru…dengan seorang bidadari mengiringi langkahmu. Tapi kapanpun itu, jika kau membutuhkanku…aku di sini.

Karena kau adikku, bukan sekedar sepupuku.

2 komentar:

May mengatakan...

:) semua akan terasa indah pada saatnya ya...

dian mengatakan...

terharu ron.

Half Purple and Blue Butterfly