Pages

Juni 30, 2005

DI PERSIMPANGAN JALAN

Apa yang terbayang di benak kita jika disodorkan kata ‘trafficking’? Persimpangan jalan, traffic light, wajah lusuh nan dekil dari bayi, anak-anak, perempuan, kemiskinan, yang kadang kala berujung ke tindakan ‘kekerasan’ mulai dari eksploitasi air mata, pemaksaan, pemerasan, penodongan, de el el. Yang lain?

Buatku trafficking adalah spanduk besar di pinggir jalanan dan Dewi Hughes. Mengapa begitu? Karena pertama kukenal kata itu dari spanduk di jalan yang ternyata di-duta besar-i oleh Dewi Hughes. Sepengetahuanku trafficking dalam bahasa Dewi berkaitan dengan eksploitasi perempuan dan anak-anak di jalanan oleh pihak-pihak tertentu yang ujung-ujungnya adalah uang. Ada hukuman pidana bagi pelakunya.

Aku mungkin tak cukup pintar untuk memberi definisi pada istilah-istilah yang menurutku hanya berarti satu: cermin kemiskinan. Entah ia berupa trafficking, anak jalanan, gelandangan, premanisme atau apalah. Mengapa begitu? Karena buatku semua itu sama saja: duitku gak cukup buat makan, baju dan tempat berteduh.

Cermin ini kujumpai setiap hari di jalanan dalam bentuk bayi, balita, anak-anak, remaja, orang dewasa dan orang tua. Lengkap. Kadang cermin ini mengamen (betulan atau sekedar ngomong gak jelas), meminta-minta (sekedar menyorongkan tangan atau sambil menghiba), berpuisi, berjualan, bahkan mencopet. Kutemui mereka dalam bus, angkot, taksi, atau mobil kawan yang kutumpangi. Mereka lebih sering lagi berhadapan denganku karena aku pengguna setia kendaraan umum.


Pada awalnya aku selalu iba. Kubayangkan saja jika aku lapar, tak punya uang dan tak ada makanan untuk di makan. Jadi ringan saja aku pindahkan recehan ke tangan mereka. Kutambah dengan bonus senyuman karena aku ingat Allah memerintahkan kita memberi dengan cara sebaik-baiknya. Karena rutin setiap hari akhirnya ini menjadi kebiasaan. Tak ada lagi rasa iba atau kasihan. Semuanya menjadi otomatis. Kalau kau minta, kuberi. Kalau tidak, ya sudah.

Suatu pagi dalam perjalanan ke kantor, di persimpangan Siola, aku membaca tulisan di sebuah spanduk. Tentang trafficking. Sangat menyolok karena kutipan hukuman pidana yang mengancam. Pada awalnya aku tidak terlalu memikirkannya karena buatku itu hanya slogan-slogan ‘omdo’ yang seringkali dipampang di pinggir jalan.

Sampai beberapa minggu kemudian kusadari cermin-cermin ini tak ada lagi di jalanan. Kalaupun ada, selalu pada sore atau malam hari dan jarang sekali. Aku teringat pada spanduk itu. Adakah hubungannya? Mulailah aku mencari informasi tentang trafficking.

Sedikit informasi kudapat dari koran, majalah, berita TV atau di infotainment. Dari infotainment aku tahu bahwa Dewi Hughes diangkat menjadi dutanya (entah oleh siapa, aku lupa). Kutangkapjuga maksud dibalik ancaman pidana terhadap pelaku trafficking. Cita-citanya memang baik. Supaya tidak ada lagi eksploitasi terhadap perempuan dan anak-anak. Juga anjuran agar kita tidak memberi uang kepada mereka agar mereka tahu bahwa tidak ada uang di jalanan.

Kukunyah-kunyah informasi ini diotakku dan kuamini karena secara logika menurutku memang benar adanya. Akhirnya, tak ada lagi recehan yang kusebar dijalanan ketika beberapa saat kemudian jalanan mulai marak dengan kehadiran mereka. Kucoba mengabaikan segala macam usaha persuasi mulai dari suara memelas, menghiba atau mimik wajah menggenaskan dalam rangka meneguhkan niatku mensukseskan cita-cita anti trafficking. Dan usahaku sukses walau di dasar hati aku merasa ada yang kurang sreg.

Sampai kemudian milis moslem di kantorku ramai membahas tentang kemiskinan. Beberapa tulisan dan tanggapan hilir mudik di sana. Mulai dari yang halus sampai keras, yang ditulis dengan huruf kecil sampai huruf capital semua. Dan ada satu tulisan yang menarik hatiku. Dikutip dari tulisan seorang Muhammad Rosyid Supriyanto yang dipublikasikan entah di mana. Kucetak dan kubaca dalam perjalanan pulang di angkot. Judulnya: Solusi Islam atas Kemiskinan.

Aku mendapat gambaran ringkas yang lebih utuh tentang bagaimana Islam memandang kemiskinan. Betapa Allah telah mengatur dengan lengkap dan menyeluruh dalam syariat Islam bagaimana mengatasinya. Betapa beberapa teori ekonomi yang kupelajari di bangku kuliahan dibantah dalam Islam. Subhanallah.

Aku tertegun sendiri dan bertanya-tanya adakah yang kulakukan pada mereka yang kurang beruntung sudah benar adanya? Sudah sesuai syariat? Astaghfirullah…ternyata masih jauh dan banyak salahnya. Aku membayangkan seandainya saja solusi Islam dijalankan mungkin aku tak perlu lagi mengumpulkan recehan dan menyebarnya di jalanan karena tidak akan ada lagi cermin-cermin kemiskinan di sana.

Tapi apa dayaku. Kita terkungkung dalam sistem kapitalis. Undang-undang anti trafficking memang sebuah usaha tapi tidak menyeluruh. Hanya akan jadi slogan ‘omdo’ karena akar penyebab masalahnya belum dapat ditangani. Lalu?...

Tiba-tiba aku teringat pada temanku, Pak Muchtar. Suatu ketika aku pernah nebeng mobil beliau (waktu aku masih teguh anti trafficking). Sepanjang jalan dengan sabar dibagikannya recehan kepada mereka semua yang meminta dengan santun. Ketika kuajukan pertanyaan kepadanya: Mengapa? Dijawabnya dengan senyuman: Supaya saya selalu ingat untuk bersyukur kepada-Nya bahwa saya masih diberi kenikmatan untuk memberi.

Allah, ya rabb, ampuni aku. Apalah artinya segala teori dan logika jika aku kelaparan. Karena ketika perutku lapar, aku pasti akan mencari makanan. Jika tak ada makanan, aku harus membelinya. Jika tak ada uang, aku harus menahan laparku dan berusaha mencari uang. Tapi jika usaha tak menghasilkan uang, salahkah aku jika memintanya? Demi perutku yang melilit, sekarang.

Cermin itu berada di antara kita. Ditunjukkannya wajah kemiskinan agar kita berkaca kepadanya. Sekarang dan besok mungkin akan semakin banyak kita jumpai. Bagaimana harus bersikap jika sistim yang ada tak mampu mengatasi. Apa yang dapat kita lakukan untuk meringankannya. Aku teringat kata-kata Aa Gym: mulailah dari yang kecil, dari diri sendiri dan mulai dari sekarang.


(Betapa banyak yang dapat kurenungkan dalam perjalanan di angkot antara Pasar Turi–Karangmenjangan jika aku tidak tertidur kelelahan)

Tidak ada komentar:

Half Purple and Blue Butterfly